Monday, February 19, 2018

Origin -- Dan Brown

Origin by Dan Brown

My rating: 3 of 5 stars

Kalau bukan karena bacaan wajib book club, gak kepikiran deh bakal baca novel Dan Brown dalam waktu dekat gini. Karena di pikiran saya, Robert Langdon ini kerjaannya berat banget mikirnya: kode, pembunuhan, kejar-kejaran, kode lagi, pembunuhan lagi, ya pokoknya gitu deh.

Namun saya mendapat hal yang berbeda di novel Origin ini. Meski yang baru saya baca ya dua aja sih, Da Vinci Code sama Angels & Demons, tapi saya merasakan perbedaannya dengan Origin.

Anyway, mari kita mulai dulu dari awal deh ya. Kisahnya tentang seorang ilmuwan atheis yang katanya cerdas banget, hingga penemuannya selalu spektakuler, yang mengunjungi 3 pemuka agama (islam, yahudi, dan kristen) untuk meminta pendapat mereka tentang temuan ilmiahnya yang terbaru. Awalnya tentu tidak dijelaskan apa itu penemuan Edmond Kirsch, ilmuwan jenius tersebut. Tapi yang pasti para pemuka agama ini merasa galau dan meminta Edmond untuk mengurungkan niatnya untuk mengumumkan penemuannya tersebut ke dunia, karena akan mengguncang keimanan semua orang yang beragama. Nah lho! Heboh bener ya kayaknya?
Sometimes, all you have to do is shift your perspective to see someone else’s truth.
Tapi Edmond tetep dong mengumumkan ke khalayak ramai, dan yep dia mendapatkan perhatian dari jutaan penonton streaming seperti yang dia inginkan. Sebelum Edmond mengumumkan apa itu penemuannya, ada yang nembak dia. DOR! Mati. Saya yang... what? Dan seperti yang sudah ditebak, Prof. Langdon bersama cewek cantik (semacam Bond dan gadis2nya ya? selalu ada ce cantik yang menemani sang profesor) bernama Ambra Vidal, seorang wanita elegan yang berprofesi sebagai direktur museum tempat Edmond mengumumkan penemuannya, mereka berdua berusaha mencari tempat di mana Edmond menyimpan data dan berniat mengumumkannya ke dunia. Karena kalau ada yang menginginkan Edmond mati, berarti ada konspirasi di balik ini semua.
Historically, the most dangerous men on earth were men of God…especially when their gods became threatened.
Mereka dipandu oleh super komputer milik Edmond yang bernama Winston. Semua jadi begitu mudah dan lancar dengan bantuan Winston, hingga memecahkan kode pun profesor kalah cepat sama si komputer. Hmm.. apakah ini menunjukkan bahwa komputer akan mengambil alih semua pekerjaan dan pemikiran manusia? Karena Winston ini cerdas banget! Super-duper cerdas! Bikin saya berharap punya komputer seperti ini. Yah, minimal henpon lah.. biar smartnya beneran :p

Jalan cerita masih sama, kejar-kejaran dengan teman yang jadi musuh, curiga mencurigai (padahal kita kan gak boleh suudzon ya?), konspirasi, dan tentu memecahkan kode-kode. Tapi sayangnya, di novel ini kecerdasan profesor tertutup si Winston. Mungkin untuk menunjukkan bahwa memang akan tiba era nya di mana manusia bergantung pada komputer. Buktinya sekarang orang nggak bisa kalau nggak pegang HP. HP ketinggalan langsung kebakaran jenggot, seolah hidupnya hancur kalau HP sampai ketinggalan. Apalagi kalau hilang. Karena semua data disimpan di sana. Belum lagi untuk foto sekarang saya mengandalkan Google Photos dan Google Drive untuk menyimpan data. Hmm...!


Dan ada issue yang agak mengejutkan juga sih di sini, yang gak ada hubungannya dengan kode dan pembunuhan, dan kalau ditiadakan juga sebenarnya gak pengaruh ke jalan cerita. Sekadar bumbu, saya rasa. Dan profesor juga kok tetiba bisa langsung kesengsem gitu sama si mbak Ambra. Apa mungkin memang kalau orang habis melewati masa menegangkan berdua, trus tetiba jadi ada ikatan batin gitu ya? Atau apakah ini juga cara Oom Brown mengemas cerita yang melulu tentang komputer dan bagaimana kecerdasan HP mengalihkan perhatian semua orang, bahwa sebenarnya rasa cinta itu masih adaaa.. pada makhluk yang bernyawaaa... *eh, maap*

Intinya, sekeren-kerennya Winston the smart computer, masih lebih baik berteman dengan manusia, gitu kali ya? Secara ada perasaan yang berkembang, ada rindu yang menyesakkan dada, ada juga rasa bersalah dan sedih yang membuat manusia tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. *ceilee.. apa ini..?*
Well, science and religion are not competitors, they’re two different languages trying to tell the same story. There’s room in this world for both.
Akhir kata, saya suka dengan novel ini, tapi nggak se-emhh yang dulu-dulu waktu baru baca karyanya Oom Brown. Soalnya kalo dipikir-pikir ya sama aja sih kejadiannya, dan plotnya kayak udah kebaca gitu. Cuma memang issue yang diangkat beda-beda tiap novelnya. Seru, dan sepertinya saya akan lanjut ke Inferno.

Someday... I don't know when... but I will.

No comments: