Monday, February 23, 2015

Lakon Librarian: Fungsi Librarian yang Terkebiri

librarySaya bekerja selama belasan tahun di sekolah pertama sebagai kataloger. Untuk yang belum tahu apa itu kataloger, yaitu orang yang kerjaannya mengatalog buku, alias input data dan mengklasifikasikan buku per-subyek, dan memberi nomor panggil di buku. PLUS, print barcode untuk setiap buku yang ada di library.

Bagitulah kira-kira inti dari pekerjaan saya sebagai kataloger. Meski pun selain hal-hal tersebut, saya juga mengerjakan hal lain seperti promosi buku, dan membantu siswa yang sedang riset dengan menunjukkan literatur yang tepat untuk mereka.

Nah, setelah belasan tahun melakukan hal yang sama, saya merasa sudah waktunya untuk pindah ke sekolah lain, yang mungkin membutuhkan jasa saya sebagai pustakawan. Karena kataloger itu hanyalah satu dari sekian banyak tugas seorang librarian. Saya ingin melakukan tugas lainnya, saya ingin mengembangkan ide saya sebagai seorang pustakawan.

happy-cartoon-librarianMaka pindahlah saya ke sekolah yang baru ini, dan menjabat sebagai librarian, alias... *ehem-ehem* kepala perpustakaan. Yep, saya akan mulai melakukan tugas lain selain mengklasifikasi buku. Dengan penuh semangat saya pelajari psikologis anak di sekolah ini, karena sejak lulus kuliah saya langsung bekerja di sekolah asing, artinya saya banyak menghadapi anak-anak bule. Sekarang, saya akan menghadapi anak-anak Indonesia (yang sangat pandai berbahasa Inggris, tapi tidak bahasa Indonesia *sedih*) yang budaya dan karakternya pasti beda dengan anak bule.

Saya juga mempelajari fungsi librarian di sekolah ini dengan saling bertukar pengalaman dengan librarian di bawah yayasan yang sama. Dan hingga sekarang sudah masuk tahun keempat, kami mengalami perubahan di jajaran pimpinan yayasan, yang mengakibatkan munculnya kebijakan baru. Sayangnya, kebijakan ini mengebiri fungsi librarian.

Jika sebelumnya untuk pembelian buku saya masih bisa meminta ke pihak sekolah, hanya berdasarkan pertimbangan saya untuk memperkaya koleksi perpustakaan, sekarang librarian tidak lagi berhak memilih buku. Yang boleh memilihkan buku untuk perpustakaan adalah koordinator pelajaran English, dan Bahasa Indonesia.

cat1
Add caption
Lalu, kalau sebelumnya untuk mengadakan kegiatan di perpustakaan saya tinggal minta dana untuk membeli hadiah dan langsung dapat karena bukan acara besar, sekarang prosesnya rumit, dan mengakibatkan saya harus merogoh kocek sendiri untuk membeli hadiah kecil-kecilan bagi peserta.

Belum lagi jika tiba-tiba ada rapat orang tua murid, atau rapat apapun yang membutuhkan space luas, mereka akan langsung saja memakai perpustakaan sebagai tempat berkumpul SAMBIL makan-minum PADAHAL di pintu sudah saya tempel sign NO FOOD/DRINK.

Di sinilah kadang saya merasa sedih.

Sudah 2 tahun belakangan ini koleksi tidak diperbaharui. Saya mengakalinya dengan bekerja sama dengan beberapa vendor buku saat book fair, dengan meminta profit sharing pada mereka. Jadi dari hasil penjualan buku mereka di book fair, library mendapat sekian persen yang akan saya ambil dalam bentuk buku. Dan library jadi punya buku baru deeehhh...

library1
Tapi kemenangan kecil itu jadi nggak berarti saat melihat banyaknya buku-buku baru di toko dan membandingkan dengan koleksi perpus yang menyedihkan. Tapi saya mah apa atuh? Cuma seekor librarian yang bekerja untuk orang-orang hebat yang tidak memedulikan library jadi pusat pembelajaran atau tidak. Sedih, kalau librarian dikebiri seperti ini. Bagaimana pendidikan di negara ini bisa maju ya?

No comments: