Monday, February 08, 2016

Tiga Sandera Terakhir -- Brahmanto Anindito

Tiga Sandera TerakhirTiga Sandera Terakhir by Brahmanto Anindito

My rating: 4 of 5 stars

Novel ini termasuk dalam genre historical fiction, yang artinya berdasarkan kisah dalam sejarah, yang dibuat fiksi. Sebagai orang yang tidak suka baca koran (kecuali saat ada berita tentang diskonan) saya memang termasuk kudet (kurang update) dan cenderung nggak peduli sama kejadian di luar rumah. Apalagi yang nun-jauh di Papua. Namun berkat novel ini, saya jadi tahu kalau pernah ada kejadian penyanderaan yang dilakukan para sempalan OPM di sana.

Bab awal menceritakan tentang bagaimana penyanderaan itu dimulai, dan perintilan tentang militer. Saya terkejut sendiri saat menemukan diri saya enjoy membacanya. Saya pikir saya bakalan bosan, ternyata malah sulit berhenti membaca. Latar belakang pemeran utama diceritakan dengan pas, nggak lebay, dan sekadarnya. Lalu masuk musuh utamanya yang bernama Jenderal Enkaeri. Sejenak saya mikir saat baca nama itu. Ini seperti pelesetan NKRI, apakah ada hubungannya? Ternyata benar. Nanti di bagian akhir buku diceritain, kok. *udah mulai penasaran?* :D

Di tengah buku, sandera ternyata berhasil dibebaskan. Jumlah yang tadinya 5, berkurang 1, shingga yang diselamatkan ada 4 sandera. Oke, saya mulai mikir, "judulnya kan 3 sandera, kok yang selamat 4?" Ya udah, baca terus deh.. ini sandera udah selamat, kok buku masih tebal aja? Berarti masih ada sesuatu.

Benar saja, salah satu anak buah Nusa (pimpinan operasi pembebasan sandera) tertangkap, dan atasannya menyuruhnya membuat tim hantu. Keren! Saat Nusa dan Nona (perempuan yang diperbantukan di tim ini) mencari para tentara desersi untuk direkrut lagi, saya jadi inget film-film Amrik yang seperti ini. Suka banget, penulis tidak terkesan buru-buru, saya sangat menikmati adegan demi adegan yang disuguhkan novel ini. *kalau sekarang, udah penasaran banget nggak?*

Menjelang bagian akhir, jagoan ketemu jagoan dan berantem. Asli saya deg-deg-an saat membaca bagian akhir. Nusa harus berkelahi tangan kosong melawan Jenderal Enkaeri yang unggul dalam semua pertarungan tangan kosongnya. Beberapa kali saya nahan napas, takut Nusa dipiting *tutup muka* Belum lagi di tempat yang lain, anak buah Nusa yang cuma 4 orang itu bertempur melawan anak buah Enkaeri yang jumlahnya banyak dan senjatanya lebih canggih. Semacam mustahil untuk menang, ya?

Keseruan demi keseruan saya dapatkan di setiap lembar novel ini. Maka tak heran jika sulit berhenti membaca, jika saja tidak ada kewajiban lain yang menanti untuk ditunaikan. Biar pun novel ini tebal, bergenre berat, tapi saya tidak merasa terintimidasi membacanya. Namun ada hal yang sedikit mengganjal. Kemana ya Nona dan Kresna saat Witir dan Aro bertempur? Kenapa nggak diceritain di akhir? Saya kepo deh, masa sih mereka sepengecut itu bersembuyi hingga kedua temannya yang lain harus mati-matian bertempur? Memang sih akhirnya muncul, tapi sebelumnya kemana...? Sebab Kresna saat masih berjaga sendiri aja, berani nekat ingin menembak sebanyak mungkin anak buah si Jenderal, masa saat bertemu temannya malah sembunyi? Ini misteri. Tolong dong penulisnya berikan jawaban, saya kepikiran banget! :D Dan menghilangnya Nona, apakah ini berarti Nusa akan menjalani misi lain? I so wish he would...! Saya bakal nungguin sequelnya.

Typo hampir tidak ditemukan, kecuali kata 'datang' yang terganti dengan 'dating' (saya nemu dua, tapi lupa halaman berapa) Selebihnya oke. Jalan cerita mulus, nggak banyak cing-cong, penulis sepertinya mengerjakan PRnya dalam riset tentang kemiliteran. No wonder sih, penulis kan wartawan ;)

Anyway, salut untuk novel yang keren ini, dan saya pasti akan merekomendasikan ke teman-teman klub buku saya. *thumbs*

No comments: